Senin, 22 September 2008

Cerita dari Ujung Kulon

Badak di Lindungi, Manusia di Musnahkan

Sebuah Catatan dari Konflik Agraria di Ujung Kulon

Abah Komar (46 Th), adalah seorang petani tua di Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang-Banten. Garis wajah yang keriput memberikan kesan Dia seorang pekerja keras, betapa tidak, seorang renta masih saja kuat bekerja di sawah dan kebun miliknya yang tak jauh dari rumah tinggalnya.

Pagi itu, setelah kebiasaannya nguyup kopi pahit, Abah Komar melangkahkan kakinya menuju kebunnya, karena musim padi sudah berlalu dan pasokan beras masih menggunung dalam karung didapurnya. Hari itu, Abah Komar berniat menikmati makan siang dengan lalaban jengkol, dia ingat ambu masak sayur asem mungkin. Tapi, siapa sangka pagi itu adalah langkah terakhir dalam hidupnya, adalah semangat kerja terakhir bagi Abah Komar dalam menggarap sawah dan kebun miliknya warisan turun-temurun.

Tak lama berselang sedari keberangkatan Abah Komar menuju kebunnya, telinga para tetangga sayup-sayup mendengar suara letusan, sangka mereka mungkin orang-orang dari desa sebelah yang sedang nganjingan, kebiasaan warga Ujung Kulon memburu babi menggunakan anjing agar tidak merusak ladang. Ternyata, sangkaan para tetangga Abah Komar meleset jauh, suara letusan yang didengar mereka adalah letusan senapan Jagawana yang pelurunya menembus tubuh Abah Komar, tergeletak di kebunnya, dengan saku dipenuhi buah Jengkol untuk makan siangnya. Diketahui Abah Komar tergeletak dengan tubuh berlubang, bersimbah darah, berbondong-bondong para tetangganya mengerumuni dan bertanya-tanya dengan muka memerah mencari-cari siapa gerangan pelakunya. Tak lama kemudian diketahui pelakunya adalah seorang petugas Jagawana Balai Taman Nasional Ujung Kulon (B-TNUK).

Setelah pemakaman dihari itu, kabar ditembaknya Abah Komar tersiar ke penjuru beberapa desa sekitar Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Tanpa di komando, warga di beberapa desa tersebut dengan membabi-buta menyerang petugas TNUK, merusak setiap bangunan milik TNUK, amuk massa tak terhindarkan, aparat kepolisian dari Resort Pandeglang dan bala bantuan dari Polda Banten tak juga bisa mencegah amarah warga. Hal tersebut ternyata merupakan luapan emosi amarah warga yang dipendam sejak tahun 1984, yaitu semenjak di sahkannya status hutan lindung Ujung Kulon menjadi Taman Nasional, bersamaan dengan dilakukannya perluasan wilayah hutan TNUK. Sehingga banyak tanah, ladang, sawah dan perkampungan di sekitar kawasan hutan TNUK menjadi bagian dari daerah konservasi.

Buntut dari amuk massa warga beberapa desa sekitar TNUK tersebut, aparat kepolisian gencar melakukan penyelidikan, dengan kesimpulan akhir ditangkapnya 5 orang warga yang dituduh sebagai pelaku kerusuhan. Petugas jagawana yang menembak Abah Komar ditangkap pula, dijatuhi hukuman yang sama dengan ke-5 warga, 6 bulan penjara. Menurut logika berfikir para petani di Ujung Kulon yang telah kehilangan tetangganya itu, dan keluarga yang ditinggalkannya, perbandingan hukuman itu dirasa sangat tidak adil, belum lagi ditambah dengan ke-tidak-bebasan warga selama berpuluh-puluh tahun dalam mengelola kebunnya dan mendiami kampung halamannya.

Satu tahun setelah penembakan Abah Komar yang disusul dengan huru-hara dan penangkapan warga, kembali terjadi penangkapan dua (2) orang petani penggarap asal Desa Ujung Jaya, Walman dan Suhendi. Kali ini pengrusakan hutan Taman Nasional dituduhkan kepada dua petani tersebut, dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dikebun milik mereka sendiri yang sudah turun-temurun diwariskan untuk digarap menghidupi keluarga, memberi makan manusia. Mulai dari penangkapannya, kedua petani tersebut sudah tidak diperlakukan seperti layaknya.

Pada tengah malam pertengahan bulan April 2008, dua buah mobil memasuki Desa Kampung Legon Pakis, kampung terujung dari Pulau Jawa bagian barat ini. Tanpa ucapan permisi, keluarga Suhendi dan Walman ditempat yang berbeda, dikagetkan dengan pendobrakan pintu rumahnya, penghuni rumah yang sedang terlelap karena capeknya sepulang dari sawah, sontak terkejut dengan penampakan beberapa orang tubuh kekar, memakai jaket hitam dan mengacung-acungkan pistolnya. Tanpa basa-basi, segerombolan tubuh kekar dari Polres Pandeglang menggusur kedua petani tak berdaya itu ke dalam mobil lalu membungkam mulut dan matanya dengan lakban, setiba di Polres Pandeglang lakban yang menutupi mulut dan matanya kedua petani tersebut baru dibuka, tak terbayang empat jam perjalanan dengan mulut dan mata ditutup lakban. Singkat cerita, pada persidangan di Pengadilan Negeri Pandeglang, kedua petani tersebut dituntut hukuman 2 tahun penjara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda